Alhamdulillah cerita kemarin dapat banyak respon positif dari penikmat literasi, kali ini aku mau cerita lebih lanjut, tapi sebelum itu aku mau kasih hadiah nih berupa satu botol parfume isi 30 ml dari INDAH PARFUME buat yang komentarnya paling menarik, jangan sampai ketinggalan hadiahnya dong buat penikmat literasi , walaupun hadiahnya gak besar tapi yah cuma itu aja yang bisa aku kasih, setidaknya bisa dipakai buat sholat kok hehehe.
Aku masih duduk diapit oleh dua ustadz masyhur di Aceh Tamiang, tak jarang dalam perjalanan kami bercerita perihal agama, kadang politik dan tentunya disertai candaan sedikit-sedikit, missal bercerita tentang sosok pemimpin, argumen dari bg Luqman yang teoritis, kemudian dibantah dengan cerita sosok Umar Bin Khattab dari Akhi Irhamuddin sebagai contoh sosok pemimpin yang memang mumpuni sebagai pemimpin, kalau tentang sejarah memang Akhi Irham paling rapi menyampaikanya, bg Luqman juga tidak kalah keilmuannya, tapi soal sejarah kami nyerah pada Akhi Irham.
Ngomong-ngomong soal judul tulisan ini, itu karena hampir separuh perjalanan asik bercerita tentang mobil, nampaknya bentar-bentar lagi ada yang bakal beli mobil baru nih, guyonan yang memaksa secara perlahan untuk ustadz yang satu ini di tuntut membeli mobil karena sudah mestinya naik mobil, ditambah lagi selain ustadz juga sebagai bapak kepsek, sesekali menyindir mobil Rush baru milik komandan ginting, rasanya beda ketika naik Agya merah yang kemarin hehe.
Entah pukul berapa kami baru masuk jalan Tol, aku sampai lupa lihat jam karena asik mengikuti perbincangan yang tak habis kami ceritakan, pokoknya sudah sore lah kami baru masuk tol, awalnya masih aman sih, plang arah jalan terpampang di setiap simpang, komandan Ginting pun semakin percaya diri menginjak pedal gas laju menyalip-nyalip bak seorang pembalap sepeda motor, sesekali berceloteh “macam orang kampung awak bah motong dari kanan”, mental-mental pengacara nya sesekali keluar, sebelum menuju arah Kualanamu kami singgah di elfet untuk mengambil barang milik bg Luqman, dapat lah merokok sebat sambil menunggu di ujung pintu Tol, setelah itu perjalanan kami lanjutkan, mulai ke arah Kualanamu.
Dua orang Medan yang duduk di depan mulai membuka perbincangan soal jalan terbaik menuju Mawaridussalam agar sampai tepat waktu, Komandan ginting mulai mengaku-ngaku orang Patumbak, apalagi Ustadz Joni yang mengaku orang Medan, hari mulai gelap dan kami bertiga yang duduk di belakang asli orang Aceh Tamiang tenang-tenang saja karena memang mengandalkan orang yang mengaku asli Patumbak dan asli Amplas yang duduk di depan, awalnya semua berjalan dengan baik, tapi tanpa sadar lampu mobil sudah mulai hidup, pertanda hari sudah benar-benar gelap dong, hati sudah mulai cemas, tapi Komandan Ginting masih percaya diri dengan jalan yang pernah ia lalui karena sudah sering ke Mawaridussalam, Navigator juga mulai cemas tapi masih mengikuti plang jalan, mobil perlahan mulai pelan saat sedang di persimpangan jalan untuk dapat melihat arah jalan yang alasannya kalau malam kurang Nampak hehehehe.
“haaa ini jalannya, udah betol ini” kata Komandan Ginting, akhirnya sepakat lah kalau sholat nanti di jama’ ta’khir karena memang tak terkejar maghrib di Mawaridussalam, akhirnya kami keluar jalan Tol dan merasa tenang karena mungkin sebentar lagi sampai, tiba tiba kata ragu mulai keluar dari ustazd Joni, “ini keknya kita balik ini ting, salah jalan ni gak?”, di sambut Komandan Ginting, “apa iya ustadz?” akhirnya orang asli Aceh Tamiang di sebelahku buka mbah Goggle, ternyata benar kecemasan kami dari tadi, FIX kita salah jalan, okay sekarang kita kembali masuk jalan Tol dan sekarang keluar dari ketersesatan dan kembali kepada jalan yang benar, benar kata pepatah malu bertanya jalan-jalan!, tapi bagaimana mau bertanya? Bukannya malu tapi di jalan Tol mau Tanya siapa? Ditambah lagi yang membawa kami orang Medan, tidak mungkin tersesat kan orang Medan, tiba – tiba semua teringat dengan bg Ucok yang kami jumpa di Keripik Cinta, dengan bangganya kami tadi sore memperkenalkan dua orang Medan yang di mobil ini, hehehe, itu lah yang dinamakan “kualek kateu urang Tamiang”, memang kalau udah minum air sungai Tamiang, bukan hanya kampung halaman yang lupa, jalan nya pun lupa hehehe.
Akhirnya kami sampai di Mawaridussalam sebelum isya, dan benar aku rindu masa-masa itu, berjumpa wali-wali kelas dulu seolah malam itu aku santri yang sedang belajar malam di kelas bersama wali kelas Ustadz Amman Lingga dan besok harus masuk kelas pelajaran Muthola’ah.
“KALAU ANTUM-ANTUM YANG TADI SORE TERSESAT DI JALAN TOL, BAGAIMANA PERASAANNYA MALAM INI?” hehehe afwan abang-abang dan khususnya ustadz Joni, ini idenya Akhi Irhamuddin orang Bandar Mahligai……
Sebelum pulang ke Aceh kami ngopi bersama ustadz-ustadz dan alumni di Grenn Coffe, tak usah ku ceritakan, karna nanti tertawa terbahak bahak mendengar cerita dari ustadz Amman Lingga tentang ustadz yang dulu lagi belajar mobil, dan celoteh ustadz Wahid tentang “ki fi ci” alias KFC, sekali lagi Affwan ustadzzzzzzzzzzzz hehehehe
Jangan lupa isi pendapat kalian di kolom komentar, ada hadiahnya lohhh....
Sekian Asslamualaikum wr.wb
Saya bisa membayangkan apa yang terjadi disepanjang perjalanan saat tersesat... pasti sangat seru... apalagi ada dialek orang Tamiang yang bersatu dengan orang Medan dalam satu perjalanan...pastinya luar biasa...wqwqwq...
BalasHapushehe gaya nya sih pasti seru
BalasHapus