Minggu, 31 Oktober 2021

TRUE STORY (LAST PART)

             Semua peserta bersiap di belakang panggung, berharap bisa menampilkan yang terbaik dan mampu memegang gelar juara tahun ini, tapi aku sudah sangat bangga walau tak memegang piala, cinta ku pada panggung ini, empat tahun sudah kulewati setiap tahunnya dengan kegagalan dan akhirnya, pun tercapai berdiri diatas belum tentu sebagai juara, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing di belakang panggung, kali ini dengan baju koko putih dan celana keper hitam tambah peci hitam di atas kepala, tak lupa sorban yang ku selempangkan di atas bahu, berjalan maju dan mundur sambil memegang kertas mencoba mengulang mengulang materi.

                Penampil pertama mulai berpidato, dengan gaya Zainuddin MZ lantang dengan khas suara serak seraknya, percis gaya suara sang legenda yang agak di berat-beratkan, aku tersadar satu hal, tahun-tahun yang lalu aku terlalu memaksakan diri mengikuti gaya ceramah ustadz-ustadz di Televisi, tapi tahun ini dengan pasrah putus asa ku seolah bercerita dengan gaya ku sendiri di atas panggung, aku mulai tersadar dengan satu kesalahan, dan menjadi evaluasi terbaik tahun ini.

                Berlangsung lagi peserta nomor dua dari bahasa arab, menunjukan keindahan sastra bahasa, kadang terlihat gugup, sedikit sedikit terlupa teks yang kulihat dia menghafal begitu serius di belakang panggung, aku mulai tersadar satu hal lagi, panggung ini bukan tentang teks, tapi ini tentang hati, perlahan kertas itu ku remas menjadi bola sampah, kubuang ke tempat sampah di depan kelas, mulai bercerita dan bercanda dengan panitia yang lain, aku tak peduli lagi dengan teks itu, aku ingin sampaikan apa yang ingin kusampaikan, sudah cukup teks itu kujaga berhari-hari, kali ini aku ingin kelihatan nyata, bukan menghafal teks, evaluasi kedua tahun ini.

                Mereka tampil satu persatu, tak ku perhatikan penampilan mereka, aku asik bercanda di belakang panggung sambil mengulang –ulang latihan dance untuk penampilan nanti sebagai penutup, sampailah waktu nya giliran ku tampil sebagai penampil terakhir malam itu, aku bersiap nama ku di sebut, semua teman ku bersorak memberi dukungan dan aku mulai semakin gugup, perlahan naik ke atas panggung, sejenak terdiam, dengan santai ku ambil pengeras suara, berdiri menatap kedepan, tak satupun kulihat mereka, seperti kosong, seolah tak ada yang menonton, malam itu hanya ada satu orang yang kulihat, dia juri yang duduk di tengah, Ustadz Azmi Rauf yang menjadi objek ku malam itu.

                Mulai membuka suara perlahan, membuka suasana dengan pantun sederhana, hanya membahas sesuatu yang sederhana, yang sederhana untuk dipahami, dan disampaikan secara sederhana, sederhana dengan hati sederhana, menampilkan kejujuran dari karakter diri sendiri, kejujuran adalah kesederhanaan yang mewah, begitulah suasana malam itu, jujur pada diri sendiri, berbicara dengan hati, bahkan aku tak perduli dengan teks, di terakhir penampilan ku jatuhkan lutut bersentuhan dengan panggung, kutadahkan tangan ke atas seiring bernyanyi syair Abu Nawas yang sering kami lantunkan di mesjid sebelum Adzan Maghrib, tak perduli dengan suasana hati mereka tapi inilah aku, kututup dengan salam dan jawaban yang cukup meriah serta tepukan tangan yang serentak.

                Turun dari panggung langsung mengganti kostum untuk penampilan kami dance sebagai hiburan penutup sebelum pengumuman pemenang, aku tidak begitu tegang dengan hasil pengumuman, aku merasa puas dengan apa yang telah ku sampaikan, tapi takdir berkata lain, dengan bangga nya malam itu kusampaikan, aku sempat berpose sambil memegang piala juara tiga malam itu, senyum manis dengan kostum kemeja hitam, Abdan Syukri yang di malam seleksi mendapat nilai nomor satu tapi di panggung LP3B dia mendapat nilai terkahir dan aku terpaksa berdiri di podium nomor tiga, sungguh keadaan yang tak kuduga sebelumnya.

                Sekitar sepuluh tahun lalu itu menjadi momen yang paling kurindukan, dan atas dasar hari ini momen itu menjadi hal terburuk dalam hidupku, sepuluh tahun yang lalu sempat punya obsesi dan mimpi bisa berdiri di atas panggung besar tapi itulah awal dari penyesalan, aku pernah bermimpi, tapi mimpi itu terhenti di panggung itu karena niat yang hanya ingin berdiri di panggung itu, kepuasan yang terlampau membuat ku lupa bahwa panggung yang sesungguhnya adalah dakwah seumur hidup sebagai seorang santri, kemudian mimpi itu sirna karena kepuasan yang terlalu kecil, sebagai evaluasi tahun ini setelah sepuluh tahun adalah, bermimpi lah mulai hari ini untuk mengalahkan dirimu sendiri, jangan pernah bermimpi untuk berlomba sehingga kau menang dan dia kalah.





2 komentar:

  1. Paten, semakin hari semakin berisi, jangan pernah berhenti, berdakwahlah dengan tulisan, karena tulisan akan selalu melampaui batas waktu, ulama kita terdahulu sudah mencontohkan

    BalasHapus
  2. Masyaallah. Kesimpulannya gak ketebak ya. Keren. *applause

    BalasHapus

PASCA ISRA'MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAW

  Assalamualaikum Wr.Wb Hai sobat literasi dimanapun berada, gimana ni uda baca apa aja akhir-akhir ini, jangan sampai hilangkan kebiasaan...