Gedung itu belum lagi siap, dari
tangga yang masih berserakan batu-batuan krikil, semen yang masih kasar ku
panjat pelan tangga per tangga, dalam kegelapan langkah itu mantap sampai ke
lantai tiga, terlihat kerumunan santri di bawah sedang beraktifitas, jalan raya
di seberang pndok terlihat seperti kebebasan, begitulah suasana malam ku di
pondok, mencari kesunyian untuk bercerita pada asap-asap yang mengepul tanpa
terlihat oleh keramaian.
Duduk di sebelah ku
Naufal yang biasa di sapa Bonet, Sahabat ku dalam gelap, hampir setiap malam
kami manjat ke gedung itu, duduk bercerita tentang hidup masing masing, Naufal
dengan masa kelamnya, selamat dari Tsunami 2004 di Aceh, tapi sayang ibunya
harus kembali pada sang pencipta tahun itu, menurut ceritanya dia terlepas dari
genggaman ibu dan adiknya, terombang ambing hingga tak sadar diri, saat sudah
sadar terlihat mayat berserakan, Bonet kecil tersangkut di atas sebuah tiang
tinggi, cerita tentang nya panjang, dan rumit untuk di ceritakan, sungguh anak
yang malang.
Malam sudah semakin
larut, saat semua sudah tidur kami baru perlahan turun dari gedung itu, Naufal
dengan masa kelamnya tapi selalu ceria, dan aku dengan ambisi yang membara tapi
sedikit cemas, bagaimana aku tidak cemas, sudah tiga kali Lomba Pidato 3 Bahasa
pun belum berhasil melumpuhkan saingan saingan ku, kami berpisah jalan dengan
Naufal di kamar mandi, aku ke arah Indonesia dan Naufal ke Saudi agar tak di curigai dan ketahuan bagian keamanan kalau kami belum tidur, bukan Negara tapi
itu hanya nama asrama putra di pondok ku.
Semangat yang biasa membara
perlahan hanyut terbawa oleh suasana, persiapan menghadapi UN hanya tinggal
hitungan hari, aku harus fokus pada ujian terlebih dahulu, LP3B sekarang
menjadi nomor dua bahkan kadang terlupakan dengan kegiatan yang padat, di
sela-sela sore aku rutin berolah raga sepak takraw bersama Rijal, berharap bisa
keluar ikut POSPEDASU pekan olah raga antar pondok se Sumatra Utara, ini cerita
lain, sekarang yang terpenting harus lulus Ujian Nasional dan yang lebih
menyeramkan lagi adalah Ujian Pondok.
Ujian pondok bagai akhir
dari segalanya jika di pondok, bagi yang pernah nyantri pasti pernah merasakan
suasana ujian akhir di pondok yang menegangkan, harus melewati ujian lisan
terlebih dahulu kemudian ujian tertulis, akhir yang menentukan keberlangsungan
hidup di pondok, tapi bukan sebuah kesombongan untuk anak sepertiku, rasanya
menjawab soal itu lebih mudah dari pada harus tampil di atas panggung LP3B, aku
tak pernah mudif masal (dipanggil orang tua karena nilai di bawah lima) sudah
tiga tahun di pondok nilai ku terus jayyid (baik), dalam hati berkata “menjawab
soal ujian lebih mudah dari menaklukan panggung lp3b”.
Benar ujian itu rasanya
lebih mudah, lagi-lagi aku duduk di kelas F, ya sesuailah untuk otak pas-pasan
sepertiku, di kelas 4 ini lebih bnyak kegiatan, dari mulai menjadi panitia
nudzul qur’an, panitia ini panitia itu, di tambah lagi menjadi mudabbir untuk
mengurus asrama, hari-hari yang makin melelahkan, padatnya kegiatan membuat ku
lupa pada ambisi untuk berdiri di panggung LP3B.
Saat semangat itu mulai
padam, kini aku di hadapkan kembali pada LP3B, tapi kali ini sebagai panitia,
disitu aku pada bagian hiburan atau pertunjukan, ya biasalah dance dance biasa
joget-joget ala india di iringi musik-musik yang saat itu sudah keren sekali, hampir
setiap sore kami latihan untuk penampilan kami yang terpilih sebagai bagian memeriahkan acara, semua sibuk pada
kepanitiaan nya masing-masing, teman seangkatan ku ‘abdan syukri mendaftar di
LP3B sebagai peserta, ‘abdan anak dari intensive yang kini kami seangkatan dan
sama-sama menjadi panitia, aku mulai berfikir kenapa aku kalah dengan anak yang
baru saja dua tahun di pondok, sedangkan aku sudah empat tahun, tak mau kalah
aku pun mendaftar sebagai peserta, kegiatan yang menumpuk di tambah harus
mempersiapkan materi, achhhhhh rasanya kepala ini mau pecah, tapi aku tak boleh
menyerah, walaupun ‘abdan yang menjadi saingan ku adalah anak oriskor (kelompok
anak-anak yang ikut kursus pidato).
Ini kesempatan untuk
mencetak prestasi terakhir kalinya, jika gagal di tahun terakhir ini maka benar
tak ada kesempatan lagi, panggung itu belum ku lumpuhkan, ku siapkan materi
yang hanya sekedar, hanya membahas tentang dosa, dibumbui tentang perperangan
muslim dan amerika, kutambah kan syair Abu Nawas di belakang nya, ingin
kuceritakan tentang kegagalan yang sesungguhnya sepanjang hidup ku, padatnya
jadwal latihan karena menjadi panitia,sangat sedikit waktu untuk berlatih
pidato menguasai materi ku, lawan-lawan yang begitu berat….
Bersambung……
Makin enak dibaca tulisannya yar. Paten. Cont part 3
BalasHapusinsyaallah sepcepatnya best
HapusMakin menarik tulisanmu ini ya..di tunggu sambungannya ya.abg mau tahu diakhirnya ente bisa taklukkan Panggung LP3B
BalasHapushaha jangan terkejut lihat hasil nya ya bg, takutnya kecewa wkwkw
HapusBagus kita kumpulkan nanti per cetitanya, lalu kita susun rapi dan kita jadikan Novel Santri
BalasHapuside yang cemerlang akhi,.. wkwkw
Hapusmakasih support nya