Sabtu, 02 Oktober 2021

TRUE STORY (PART II)

 

                         Gedung itu belum lagi siap, dari tangga yang masih berserakan batu-batuan krikil, semen yang masih kasar ku panjat pelan tangga per tangga, dalam kegelapan langkah itu mantap sampai ke lantai tiga, terlihat kerumunan santri di bawah sedang beraktifitas, jalan raya di seberang pndok terlihat seperti kebebasan, begitulah suasana malam ku di pondok, mencari kesunyian untuk bercerita pada asap-asap yang mengepul tanpa terlihat oleh keramaian.

                        Duduk di sebelah ku Naufal yang biasa di sapa Bonet, Sahabat ku dalam gelap, hampir setiap malam kami manjat ke gedung itu, duduk bercerita tentang hidup masing masing, Naufal dengan masa kelamnya, selamat dari Tsunami 2004 di Aceh, tapi sayang ibunya harus kembali pada sang pencipta tahun itu, menurut ceritanya dia terlepas dari genggaman ibu dan adiknya, terombang ambing hingga tak sadar diri, saat sudah sadar terlihat mayat berserakan, Bonet kecil tersangkut di atas sebuah tiang tinggi, cerita tentang nya panjang, dan rumit untuk di ceritakan, sungguh anak yang malang.

                        Malam sudah semakin larut, saat semua sudah tidur kami baru perlahan turun dari gedung itu, Naufal dengan masa kelamnya tapi selalu ceria, dan aku dengan ambisi yang membara tapi sedikit cemas, bagaimana aku tidak cemas, sudah tiga kali Lomba Pidato 3 Bahasa pun belum berhasil melumpuhkan saingan saingan ku, kami berpisah jalan dengan Naufal di kamar mandi, aku ke arah Indonesia dan Naufal ke Saudi agar tak di curigai dan ketahuan bagian keamanan kalau kami belum tidur, bukan Negara tapi itu hanya nama asrama putra di pondok ku.

                        Semangat yang biasa membara perlahan hanyut terbawa oleh suasana, persiapan menghadapi UN hanya tinggal hitungan hari, aku harus fokus pada ujian terlebih dahulu, LP3B sekarang menjadi nomor dua bahkan kadang terlupakan dengan kegiatan yang padat, di sela-sela sore aku rutin berolah raga sepak takraw bersama Rijal, berharap bisa keluar ikut POSPEDASU pekan olah raga antar pondok se Sumatra Utara, ini cerita lain, sekarang yang terpenting harus lulus Ujian Nasional dan yang lebih menyeramkan lagi adalah Ujian Pondok.

                        Ujian pondok bagai akhir dari segalanya jika di pondok, bagi yang pernah nyantri pasti pernah merasakan suasana ujian akhir di pondok yang menegangkan, harus melewati ujian lisan terlebih dahulu kemudian ujian tertulis, akhir yang menentukan keberlangsungan hidup di pondok, tapi bukan sebuah kesombongan untuk anak sepertiku, rasanya menjawab soal itu lebih mudah dari pada harus tampil di atas panggung LP3B, aku tak pernah mudif masal (dipanggil orang tua karena nilai di bawah lima) sudah tiga tahun di pondok nilai ku terus jayyid (baik), dalam hati berkata “menjawab soal ujian lebih mudah dari menaklukan panggung lp3b”.

                        Benar ujian itu rasanya lebih mudah, lagi-lagi aku duduk di kelas F, ya sesuailah untuk otak pas-pasan sepertiku, di kelas 4 ini lebih bnyak kegiatan, dari mulai menjadi panitia nudzul qur’an, panitia ini panitia itu, di tambah lagi menjadi mudabbir untuk mengurus asrama, hari-hari yang makin melelahkan, padatnya kegiatan membuat ku lupa pada ambisi untuk berdiri di panggung LP3B.

                        Saat semangat itu mulai padam, kini aku di hadapkan kembali pada LP3B, tapi kali ini sebagai panitia, disitu aku pada bagian hiburan atau pertunjukan, ya biasalah dance dance biasa joget-joget ala india di iringi musik-musik yang saat itu sudah keren sekali, hampir setiap sore kami latihan untuk penampilan kami yang terpilih sebagai bagian  memeriahkan acara, semua sibuk pada kepanitiaan nya masing-masing, teman seangkatan ku ‘abdan syukri mendaftar di LP3B sebagai peserta, ‘abdan anak dari intensive yang kini kami seangkatan dan sama-sama menjadi panitia, aku mulai berfikir kenapa aku kalah dengan anak yang baru saja dua tahun di pondok, sedangkan aku sudah empat tahun, tak mau kalah aku pun mendaftar sebagai peserta, kegiatan yang menumpuk di tambah harus mempersiapkan materi, achhhhhh rasanya kepala ini mau pecah, tapi aku tak boleh menyerah, walaupun ‘abdan yang menjadi saingan ku adalah anak oriskor (kelompok anak-anak yang ikut kursus pidato).

                        Ini kesempatan untuk mencetak prestasi terakhir kalinya, jika gagal di tahun terakhir ini maka benar tak ada kesempatan lagi, panggung itu belum ku lumpuhkan, ku siapkan materi yang hanya sekedar, hanya membahas tentang dosa, dibumbui tentang perperangan muslim dan amerika, kutambah kan syair Abu Nawas di belakang nya, ingin kuceritakan tentang kegagalan yang sesungguhnya sepanjang hidup ku, padatnya jadwal latihan karena menjadi panitia,sangat sedikit waktu untuk berlatih pidato menguasai materi ku, lawan-lawan yang begitu berat….

Bersambung……         




6 komentar:

  1. Makin enak dibaca tulisannya yar. Paten. Cont part 3

    BalasHapus
  2. Makin menarik tulisanmu ini ya..di tunggu sambungannya ya.abg mau tahu diakhirnya ente bisa taklukkan Panggung LP3B

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha jangan terkejut lihat hasil nya ya bg, takutnya kecewa wkwkw

      Hapus
  3. Bagus kita kumpulkan nanti per cetitanya, lalu kita susun rapi dan kita jadikan Novel Santri

    BalasHapus
    Balasan
    1. ide yang cemerlang akhi,.. wkwkw
      makasih support nya

      Hapus

PASCA ISRA'MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAW

  Assalamualaikum Wr.Wb Hai sobat literasi dimanapun berada, gimana ni uda baca apa aja akhir-akhir ini, jangan sampai hilangkan kebiasaan...